Mitos Gadis Dayak

Sebelum menginjakan kaki di Bumi Borneo, aku begitu sering dicekoki pandangan stereotip tentang suku Dayak yang katanya ganas dan beringas. Begitu juga pandangan tentang gadis-gadisnya yang angker untuk disentuh. Sekali berani macam-macam, katanya bakalan tak bisa pulang, gelap, bingung dan yang lebih sadis lagi "gagang pacul" bisa hilang.

Namun setelah bergaul dengan mereka, bayangan kejam dan biadab itu tak terlihat sama sekali. Yang aku temukan justru masyarakat yang ramah tamah dan cenderung pemalu. Mereka juga bisa menerima pendatang dengan dengan baik-baik dan tidak suka mendahului berbuat ulah dengan dalih yang punya kawasan. Seperti mereka yang memilih mengalah ketika orang luar berbondong-bondong membalak hutan atau menggali kandungan tambang di tanah mereka. Mereka juga tak meributkan ketika sebagian warganya berpindah ke keyakinan yang dibawa pendatang.

Aku pikir semua pandangan negatif itu hanyalah satu bagian dari budaya "sawang sinawang" sebagian dari kita. Apalagi pasca kerusuhan etnis Sampit dulu, dengan mudah kita menggeneralisir pandangan tentang suku Dayak yang sadis. Buatku itu bukanlah simbol kebiadaban suku Dayak. Dimana-mana orang kalo diusik pasti melawan. Dan itu bukan semata-mata penyerangan melainkan pembelaan diri yang wajar dilakukan setiap orang. Bahkan KUHP pasal 49 saja menyebutkan bahwa noodweer alias pembelaan darurat itu tidak bisa dipidanakan walau melakukan hal yang termasuk tindak pidana. Tentu saja dengan memenuhi syarat dan ketentuan berlaku.

Kenyataan di lapangan, di Jawa yang katanya lebih beradab, penyerangan fisik justru lebih sering terjadi hanya karena hal yang sepele. Bahkan orang yang mengaku beragama pun tak merasa berdosa menyerang orang lain hanya karena berbeda baju. Lihat saja penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah yang marak terjadi. Ini kontras sekali dengan mitos suku Dayak tentang panglima Burung. Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Panglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah -agama manapun- dengan merusak atau membunuh di dalamnya. Kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh.

Kebetulan di kantor ada satpam yang katanya jawara dan pernah mengalahkan 6 orang bersenjata parang yang mencegat di jalan dengan tangan kosong. Namun aku tak melihat sedikitpun sisi keganasannya dalam kesehariannya. Waktu aku sempatkan ngobrol tentang budaya kekerasan suku Dayak, beliau mengatakan itu sebagai kebohongan besar dan ganti menunjuk salah satu suku di Jawa sebagai suku yang ganas. Falsafah tentang pertahanan diri suku Dayak dilakukan tanpa ada keinginan untuk show of force sama sekali. Mereka tak mau membawa senjata di tempat yang salah. Mandau hanya dibawa saat ke hutan dan tidak akan dicabut dari sarungnya bila tidak dibutuhkan. Ini sama dengan kebiasaan orang Jawa yang selalu menyembunyikan keris di belakang tubuhnya dan memindahkannya ke depan hanya pada saat darurat.

Aku juga sempat bertanya tentang mitos gadis Dayak yang bisa bikin linglung laki-laki yang menggodanya. Beliau cuma tertawa dan mengatakan itu bukan soal gadisnya, melainkan laki-lakinya. Dikatakan bakalan tidak bisa pulang ke Jawa memang ada benarnya. Bagaimana mungkin laki-laki bisa betah di kampung halamannya bila hatinya sudah tertambat di Kalimantan. Pengertian jalanan mendadak gelap kalo akan pulang juga bisa diartikan sama. Yang gelap hatinya yang enggan pulang, bukan matanya. Lalu tentang kemaluan yang hilang itu bisa saja terjadi di suku lain dengan istilah santet. Secara logika, orang tua siapa yang tidak sakit hati bila anak gadisnya dijahatin orang. Masalah dia menggunakan jalan kasar atau halus untuk balas dendam, itu kembali ke diri masing-masing orang. Dan itu terjadi di semua suku, bukan hanya milik suku Dayak saja.

Tentang gadis Dayak cantik atau tidak, itu relatif tergantung masing-masing orang yang melihatnya. Masalah bila ngobrol suaranya keras, itu karena faktor budaya, bukan orangnya. Sama kasusnya dengan orang Banyumas yang berteriak ngapak saat berbisik romantis. Identik juga dengan kasus sebaliknya pada orang Jogja atau Solo yang bersuara lembut saat misuh-misuh. Jadi tidak ada masalah dengan gadis Dayak atau bukan. Selama kita tidak berbuat ulah, tak ada mitos kekejaman  yang perlu ditakutkan.

Semoga jalanku tidak akan berubah gelap...
 
 
 
 
 
 

Di Balik Perang Sampit

 
 
 
 
 
 
31 Votes

Sebelum peristiwa berdarah meledak di Sampit, pertikaian antara suku Dayak dan suku Madura telah lama terjadi.
Suku Dayak
Yang jelas suku Dayak dapat hidup berdampingan dengan damai bersama suku lain tapi tidak dengan suku Madura. Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura? Saya sebagai suku Banjar dapat mengerti apa yang dirasakan saudara kami, suku Dayak.

Menengok kembali peristiwa lama yang mungkin termasuk pemicu terjadinya Tragedi di Sampit:
Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor tinggi tetapi orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mencoba mempertahankan diri menggunakan
Tarian Daerah Suku Dayak
ilmu bela diri peninggalan nenek moyang suku Dayak dan sampai saat ini ilmu bela diri tersebut masih tetap dipertahankan. Hal itu bukan suatu yang asing atau mustahil bagi suku Banjar yang selama ini selalu berdampingan dengan suku Dayak. Di mana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang
Dayak adalah dihukum berat.
Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun tidak ada penyelesaian secara hukum.
Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
Tahun 1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.
“Sebelum lanjut cerita berikutnya, admin berharap tidak ada yang menganggap berita ini adalah sara. Kejadian demi kejadian di atas di paparkan bukan karena melihat dari satu sisi saja dan info ini tidak untuk saling memfitnah atau sejenisnya tapi hanya untuk sebagai pengingat dan pelajaran bagi kita agar tidak terulang kembali kejadian mengerikan seperti ini.”
Lanjut cerita: Banyak Versi tentang latar belakang tragedi ini, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura. Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.
Ada Versi lain mengatakan: Terjadinya perang antar suku Dayak dan suku Madura karena kecemburuan sosial-Ekonomi.
Versi berbeda juga menceritakan: Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum.
Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini.
Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi penyebab pecahnya “perang” tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian Versi lain ini adalah tidak benar.
Ada yang mengungkapakan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala
Pakaian Adat Suku Dayak
Saat terjadi pembantaian di Sampit Etnis Dayak yang tengah di rasuki kemarahan dapat membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari “serangan beringas” orang-orang Dayak. Itu karena suku Dayak adalah suku yang masih meyakini adat-adat nenek moyangnya. Suku Dayak mempunyai cara yang jika melalui akal sehat tidak dapat di terima.
Suku Banjar
Itulah suku Dayak, yang saya sendiri suku Banjar tidak meragukannya.
Selama ini yang kami tahu suku Dayak sangatlah ramah. Itu terbukti, dari dulu dua suku di kalimantan yaitu suku Dayak dan suku Banjar selalu bisa berdampingan. Suku Dayak hanya ingin mendapatkan haknya yang tidak bisa dipenuhi pemerintah. Dulu pemerintah mengabaikan hal-hal ini dan samapi akhirnya hal ini menjadi besar dan baru pemerintah turun tangan.
Semenjak kejadian tersebut sampit dikenal dengan kota berdarah. Jika kota tersebut bisa bicara mungkin beginilah yang akan dia ucapkan.
“Kami sudah cukup ramah dan selalu bisa ramah, tapi apa yang kamu berikan, sebaliknya. Kami juga punya batas kesabaran.”

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar